Dimensi

Ada perasaan sentimentil yang mengendap beberapa malam belakangan.
Ketakutan, gelisah, sedih, kacau, merindu, khawatir, penyesalan, segala harap dan kenangan, seolah berlomba berada di pikiran.

Mereka berkata ini adalah wajar, sebuah sindrom yang menyerang di usia peralihan seperti ini.
Mereka berkata menjadi dewasa adalah perjalanan yang melelahkan.
Mereka berkata tidak ada pilihan lain selain melawan dan bertahan sekuat tenaga.

Sampai ku dapati diri terbangun di sebuah malam. Dalam sepetak ruang yang tak asing, menyisir gelisah sisa semalam yang tak kunjung selesai.

Kubirkan ia tetap terjaga.

Setelah tiba-tiba tubuhku seperti ditarik pada sebuah ruang kosong, gelap, sunyi. Tidak terdengar suara apapun, tidak tampak siapapun.

Seolah tubuh ini terus didorong maju. Pikiran ini sadar, tapi tubuh tak mampu bertindak banyak.
Semakin dalam, semakin terasa ruang sesak, dalam pekat tanpa ujung.

Pikiranku sadar, dan mampu bertanya tanya kemana aku dibawanya ?

Setelah tiba-tiba angin dingin menyerang tubuh ini. Dingin yang membuat pilu hati, sepilu-pilunya. Membuat kaku sekujur tubuhku.

Pilu. Menyakitkan. Beberapa kecewa melintasi pikiran, melesat seperti kilat. Tak bermuara darimana seolah menampar ketegaran yang susah payah dibangun selama ini.

Setelah tiba-tiba tubuh ini jatuh tersungkur. Sesak di dada dengan nafas tak terkendali. Beberapa harapan yang dirasa sulit terwujud terlempar satu per satu, mengolok-olok ekspektasi payah yang dirancang sendiri.

Setelah tiba-tiba terasa semakin sesak.

Rasa benci itu hadir. Amarah yang sudah kukubur menyeruak. Merusak pintu maaf yang berdiri diatas rasa sabar dan ikhlas yang selama ini berhasil kupaksakan.

Sketsa wajah-wajah manusia pembenci tanpa maaf kembali hadir tanpa alasan.

Ilusi hati penuh dengki menggerakkan pertahanan.

Kenangan pilu masa lalu berkeliaran, tawa itu berubah menjijikan.

Semakin cepat, semua kenangan itu melesat tanpa permisi.

—–
Setelah semua hening jadinya,
—–

Setelah beberapa saat kudapati diri tersungkur dalam sujud dan air mata.

Seketika itu hening dalam gelap, mulai tenang, dan semakin tenang.

Telah kutumpahkan semua yang tak dapat di ungkapkan.
Telah kutumpahkan semua kesal sebelum akhirnya dapat kembali ku kendalikan.

Lalu kemudian,

Ketenangan ini terasa mahal.
Kegelapan ini tak lagi menakutkan, ia menyelimuti kecemasan yang meradang.
Dingin ini menjadi dekapan terbaik yang menjanjikan bahwa semua hal ada jalan keluar.

Tubuhku bereaksi. Jika diperkenankan, aku hanya ingin di sini, terus di sini.

Aku menyebutnya Dimensi.
Mungkin kalian memiliki lain arti,
Seperti sepertiga malam hari ini.

Dimensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *